Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu

Twitter Facebook Feedburner Google +1 youtube



Pendaki Gembel!!! Gunung Slamet.
Mendaki gunung merupakan aktivitas diluar ruang (Outdoor Activitiy) yang akhir-akhir ini sangat digandrungi anak muda. Tak ayal setelah rilis perdana Film 5 cm pada tanggal 12 Desember 2012 memberikan efek luar biasa bagi mereka yang sebelumnya belum pernah merasakan sensasi mendaki gunung. Sebelumnya aktivitas mendaki gunung hanya dimonopoli mereka yang tergabung dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pecinta Alam.
Berawal dari obrolan ringan seorang teman kontrakan bernama Fandy mengenai keseruan cerita perjalanannya ke Gunung Lawu dan Gunung Semeru yang hanya selisih 1 bulan. Seketika terlintas dipikiranku untuk mendaki ke Gunung Slamet yang merupakan salah satu Gunung Berapi tertinggi di Jawa Tengah dengan ketinggian 3428 mdpl serta tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru di Jawa Timur dengan ketinggian 3676 mdpl. Gunung yang cukup terkenal dikalangan pendaki meskipun medannya dikenal sulit.
Waktu itu Hari Jumat, 6 Desember 2013. Selepas Sholat Jumat di salah satu masjid disekitar kontrakan, kami  berinisiatif menghubungi teman kampus yang bernama Kun untuk mengajak bergabung dalam pendakian ke Gunung Slamet. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya mendapatkan sms bahwa dia bersedia bergabung dengan pendakian kami. Kami sepekat selepas Sholat Ashar berkumpul di depan Indomaret Ngesrep. Segera saya dan Fandy berkemas untuk menghampiri Kun. Ternyata Kun sudah stand by di depan Indomaret Ngesrep, tanpa banyak bicara Kun mengajak kami menuju salah satu rumah yang dijadikan kontrakan temannya. Disana sudah menunggu beberapa teman yang ternyata juga akan ikut bergabung bersama kami mendaki Gunung Slamet ada beberapa teman satu jurusan dan satu orang dari kampus lain. Terhitung ada tambahan enam personil. Jadi total rombongan pendakian berjumlah depalan orang yang terdiri dari: Fandy, Kun, Ucup, Okem, Muhtadi, Ilham, Seto, dan saya sendiri.
Ini adalah pendakian pertama saya ke Gunung Slamet, sebelumnya saya sudah beberapa kali mendaki beberapa gunung di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Gunung Slamet terletak diantara 5 Kabupaten, yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang. Gunung ini memiliki 5 jalur pendakian antara lain: Jalur Bambangan (Purbalingga), Jalur Baturraden (Purwokerto), Jalur Guci (Tegal), Jalur Kaliwadas (Brebes), Jalur Kaligua (Bumi Ayu), dan Jalur Dukuhliwung (Tegal). Penduduk yang bermukim disekitar lereng Gunung Slamet menganggap gunung tersebut gunung angker, bahkan menurut cerita yang banyak saya baca dari blog sebagian pendaki pernah mengalami kejadian-kejadian aneh ketika di Gunung Slamet.
Waktu sudah menunjukan pukul 17.00 WIB. Sembari menunggu beberapa teman untuk menyiapkan peralatan dan logistik yang akan dibawa. Saya bersama Kun mendiskusikan perjalanan kami.
“Lebih baik lewat jalur pendakian mana Kun?”, tanya saya yang belum pernah ke Gunung Slamet. “Wah.. aku juga belum pernah kesana ik!”, Sahut Kun dengan logat Semarangannya.
Akhirnya Kun memanggil temannya yang bernama Seto. Dia adalah Mahasiswa Mesin di Politeknik Negeri Semarang. Yang kebetulan pernah melakukan pendakian Ke Gunung Slamet. Setelah mendengarkan cerita Seto, akhirnya kami sepakat untuk mendaki melewati Jalur Bambangan di Kabupaten Purbalingga. Memang didalam sebuah tim, terlebih tim pendakian yang melibatkan banyak personel, diskusi dan komunikasi merupakan hal yang selalu di tekankan sesama pendaki agar dalam perjalanan nantinya tidak ada yang hal yang tidak diinginkan terjadi.
“Ayo kita berangkat!”, celetuk Okem. Mesin-mesin motor mulai dinyalakan. Tak berlangsung lama deru-deru mesin mulai bersahut-sahutan. Kami saling berboncengan, karena jumlah kami ada 8 orang sehingga kami menggunakan 4 unit sepeda motor, dan kebanyakan adalah motor bebek. Terbayang betapa capeknya perjalanan dari Tembalang menuju ke Bambangan daerah di Purbalingga Jawa Tengah melewati Jalan Pantura (Pantai Utara) Jawa. Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami berhenti disalah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di daerah Kendal, untuk mengisi penuh tangki sepeda motor kami dan menunaikan Sholat Magrib.
Perjalanan kami lanjutkan dan kami berhenti kembali di daerah Batang, Jawa Tengah, karena teman kami yang bernama Seto berasal dari Batang. Sehingga kami menyempatkan mampir ke rumahnya dan kemudian kami diajak oleh Seto menuju ke daerah sekitar Stasiun Batang untuk menikmati kuliner Nasi Megono, yaitu makanan yang sangat familiar yang mudah ditemukan di warung - warung sepanjang Pantura mulai daerah Batang, Pekalongan hingga Pemalang. Nasi Megono merupakan kuliner khas terdiri dari Nasi, dan cacahan nangka muda yang dicampur dengan parutan kelapa berserta bumbu-bumbu lainnya. Jujur ini merupakan pengalaman pertama kalinya menikmati kuliner Pantura ini. Pertama merasa aneh dengan cacahan nangka muda akan tetapi setelah dirasakan apalagi dengan telur ayam bacem dan tempe mendoan hangat. Dalam keadaan perut yang kosong karena perjalanan dari Tembalang menuju Batang yang hampir memakan waktu 3 jam, merasakan sajian kuliner ini sungguh nikmat sekali, iya nikmat karena si tuan rumah mentraktir kami. Hehehe.
Setelah dirasa cukup untuk memulihkan tenaga kami, istirahat pun kami akhiri, dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan panjang kami. Jam di hapeku menunjukan pukul 21.00 WIB, didalam benak aku membayangan akan begitu panjang dan melelahkan perjalanan ini. Tapi dengan semangat, kami rasa bisa menaklukan semua ini. Selama di perjalanan Fandy yang bertindak sebagai driver dan saya sebagai co-driver yang memanggul tas keril di pundak, sungguh melelahkan dengan  perjalanan panjang dan mengenakan tas keril yang sebelum berangkat sudah saya timbang dengan berat 20 Kg. Itu sudah termasuk berat bagi saya yang bertubuh kecil dan kurus. Disela-sela berkendara saya selalu mengajak Fandy untuk mengobrol, tujuannya adalah agar Fandy tidak mengantuk ketika mengendari motor. Obrolan kami hanya sekedar obrolan remeh temeh seputar gebetan yang sedang diincarnya sampai obrolan yang lebih serius terkait masa depan masing-masing.
Perjalanan terus kami nikmati, dan sesekali kantuk menyerang. Tak ayal perjalanan malam hari dengan kondisi udara dingin dan sedikit lelah berulang kali membuat helm saya terantuk pada helm Fandy, dan dia mengingatkan untuk berpegangan. Tak terasa kami telah melewati Pekalongan menuju ke Pemalang. Ditengah perjalanan kami berhenti di SPBU untuk sekedar buang air kecil dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Di setiap berhenti kami saling bertukar tempat duduk. Sekarang gantian saya yang menjadi driver. Tas keril yang sebelumnya berada di pundak saya kemudian saya pindahkan di depan saya sehingga pundak saya sudah tidak merasakan beban lagi. Lega sekali rasanya.hehe
Jalan demi jalan kami lewati tanpa tau nama jalan tersebut. Saya hanya mengikuti teman yang berada di depan saya. Saya mencuri pandang kekanan dan kekiri ketika jalan mulai sepi berharap menemukan nama jalan dan tempat dimana kami berada. Ternyata kami sudah berada di daerah Pemalang, dimana tepatnya saya tidak mengetahuinya. Kami pacu kendaraan kami secepat mungkin menuju ke selatan. Semakin ke selatan daerah yang kami lewati semakin sepi tanpa penerangan dan dikanan-kiri kami berupa hutan dengan pepohonan tinggi menjulang. Tak terasa waktu menunjukan pukul 00.30 WIB tepat kami berhenti di SPBU yang agak terpencil untuk mengisi bahan bakar yang telah menipis. Disela-sela petugas mengisi tangki bahan bakar motor teman, saya yang berada diantrian di belakangnya menguping pembicaraan mereka yang intinya pejalanan kami menuju Bambangan akan sedikit lebih lama dikarenakan jalanan yang berlubang dan banyak genangan air. Sebelum kami sampai di SPBU hujan memang sudah selesai mengguyur daerah tersebut.
Setelah beristirahat kurang lebih 15 menit, kami melanjutkan perjalanan dengan agak berhati-hati. Laju motor kami tidak sekencang ketika kami di Pantura. Kami sangan berhati-hati dalam memilih jalan yang mulus. Salah memilih jalan bisa berakibat fatal, kempes ban di tengah hutan tanpa penerangan dan jauh dari pemukiman warga. Masuk dari perkampungan satu ke perkampungan lain. Medannya sudah tak lagi datar, sesekali motor kami pacu kencang demi menaklukan tanjakan itu. Setelah lama berjalan akhirnya kami mulai menemukan peradaban. Kami menjumpai sebuah pasar di pinggiran kota yang mulai ramai aktivitas para penjual untuk menyiapkan dagangannya. Kami putusan untuk mencari tempat beristirahat dan sambil mencari tau daerah mana yang kami singgahi ini. Di pinggiran kota tersebut kami tidak menjumpai toko yang buka, maklum saja saat itu jam menunjukan pukul 02.00 dini hari. Beruntung kami menemukan Indomaret 24 jam yang masih buka. Akhirnya kami putuskan untuk sekedar membeli minuman dan snack sembari meluruskan tulang punggung kami yang sudah mulai kaku.
Dikasir Indomaret saya bertanya, “Permisi mas, ini daerah mana ya?”. “Ini daerah Purwokerto mas! Memang mas dari mana?” tanya si kasir tersebut. “Kami dari Semarang mau ke Gunung Slamet mas” sahut ku.
Saya menyadari sebenarnya telah tersesat setelah kasir Indomaret tersebut menyebutkan kami berada di Purwokerto, padahal tujuan kami adalah Bambangan di Kabupaten Purbalingga. Kami disarankan untuk kembali di jalan yang sebelumnya kami lewati dan mengurangi kecepatan ketika sampai pada pertigaan, dimana dipertigaan tersebut ramai oleh warung. Sepertinya daerah sekitaran pertigaan itu digunakaan untuk persinggahan angkutan umum sebelum melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di pertigaan yang disebutkan kasir Indomaret tersebut kami berhenti disalah satu warung dan bertanya arah menuju ke Bambangan. Akhirnya kami diberitahu tempat yang kami tuju. “Matur suwun, pak!”, ucap salah satu teman saya. Tanpa pikir panjang kami segera melanjutkan perjalanan menuju daerah Bambangan.
Waktu terus berjalan, dingin angin gunung tak terelakan menembus jaket-jaket kami hingga ke tulang. Karena kami sudah masuk daerah lereng Gunung Slamet wajar saja kami disambut oleh keadaan semacam ini. Selama perjalanan menuju basecamp Bambangan kami melewati beberapa perkampungan dan kebun sayur milik warga. Dengan adanya beberapa penunjukan jalan yang di pasang di pinggir jalan, akhirnya kami menemukan basecamp pendakian via bambangan. Segera kami parkir di depan rumah warga yang masih terjaga untuk menitipkan motor kami. Selepas menitipkan motor kami segera masuk ke dalam rumah yang di jadikan basecamp pendakian. Tak disangka dari luar basecamp tersebut terlihat sepi, dan ketika masuk kedalam rumah, beberapa orang sudah tergeletak di lantai rumah berselimutkan sleeping bag. Alhasil kami harus mencari celah untuk bisa beristirahat agar keesokan paginya tidak terlalu capek dalam pendakian.
Waktu sudah semakin pagi. Tak terasa jam tanganku menujukan pukul 03.00. Aku harus segera tidur, tetapi dingin ini memaksaku untuk terus terjaga. Baju tebal, jaket, kaos kaki serta sleeping bag sudah aku gunakan tapi masih saja dingin menerobos melewati celah celah sleeping bag hingga akhirnya aku tertidur dalam buaian mimpi. Ash-shalaatu khairum minan-nauum.. 2 kali aku mendengarkannya tapi badanku tidak segera bangun. Aku rasa karena rasa lelah perjalanan masih tersisa atau bisikan setan untuk terus melanjutkan tidur lebih kuat daripada memenuhi panggilan-Nya? Arrgh.. pikiran ini sadar akan tetapi raga ini seolah menolak untuk bangun. Kupaksakan badan ini untuk sekedar bersandar di dinding. Setelah beberapa saat tenaga terkumpul, ku singkap sleeping bag dan ku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk buang air kecil lantas berwudhu. Di mushola kecil di sudut rumah itu aku menghadap Tuhan-Ku.
Mentari mulai menghangat. Masyarakat desa sudah sejak subuh pergi ke kebun untuk merawat dan memanen jerih payah mereka, sedangkan kami? Ahh.. kulihat teman teman masih asyik dengan mimpi mereka masing-masing, dan aku lihat beberapa pendaki laain tengah bersiap mengemasi barang dan selanjutnya melakukan registrasi sebelum melakukan pendakian.
Aku coba bangunkan salah satu teman. “Kun, ayo bangun udah pagi nih!”. “Ah.. bentar.. 5 menit lagi”. Jawabnya sambil membelakangiku.
Ujungnya pun sudah bisa di tebak, kami kesiangan pemirsah. Pukul 08.30 kami bangun terlewat target kami untuk bangun jam 07.00. Secara bergantian kami menuju kamar mandi, tapi diantara kami berdelapan tidak ada yang mandi, hanya berani untuk cuci muka dan gosok gigi. Luar biasa dingin. Brrr.. 30 menit kami habiskan bergantian untuk menggunakan kami mandi, sedang yang lain mempersiapkan keril masing-masing. Tepat pukul 09.00 kami mendaftakan kelompok pendakian kami di basecamp.
Dari basecamp yang berada di ketinggian 1502 mdpl, perjalanan kami mulai dengan berjalan menyusuri jalan aspal hingga gerbang pendakian. Setelah lepas dari jalan aspal kami disuguhi pemandangan perkebunan penduduk sekitar. Kami meneruskan perjalanan melewati jalan setapak hingga menjumpai simpang tiga dan itu pertanda bahwa kami harus berbelok kekiri. Untuk mencapai Pos 1 Pondok Gemirung (Gardu Pandang) sebelumnya kita akan melewati lahan kosong yang nampak seperti lapangan yang cukup luas. Setelah melewati lapangan kami disuguhi jalan yang menanjak untuk sampai pos 1. Perjalanan 2 jam yang cukup memberikan kejutan di awal pendakian. Tak terasa sampailah kami di pos 1 dan segera kami cepat meletakan keril kami dan menjangkau minum di dalam masing masing tas kami.
Ada diantara meraka hanya mendaki sampai Pos 1, dikarenakan peralatan pendakian mereka terbatas. Setelah dari Pos 1 Pondok Gemirung (Gardu Pandang) kami melanjutkan pendakian kembali menuju ke pos 2 (Walang). Sekedar informasi Pos 1 Pondok Gemirung atau Pos Gardu Pandang memang banyak diminati oleh mereka yang hanya ingin berlibur pemandangan. Berada diketinggian 1935 mdpl. Pos ini berupa shelter dengan atap berupa seng yang luas dan cocok untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian ke Pos 2.
Medan yang dilalui menuju Pos 2 sudah mulai memasuki kawan hutan yang rapat. Jalur akan terus menanjak dan sedikit ditemui bonus (jalur datar). Pos 2 (Walang) berada diketinggian 2220 mdpl dan dapat di lalui 1.5 jam dari Pos 1 Gemirung (Gardu Pandang). Berupa tanah datar yang cukup luas untuk beristirahat dari lelahnya selepas tanjakan di pos 1.
Selepas dari pos 2 perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 3 (Cemara). Jalan yang kami lalui masih di dominasi tanjakan. Dari pos 2 kami berjalan menuju Pos 3 Pondok Cemara memakan waktu sekitar 2 jam yang masih didominasi hutan lebat dan semak-semak.
Pos 3 Cemara ini berada di ketinggian 2465 mdpl. Berupa tanah datar yang lebih kecil daripada pos 2. Perjalanan kami lanjutkan menuju pos berikutnya yaitu Pos 4 Samarantu. Di pos 4 ini bisa dilalui 1 – 1.5 jam perjalanan menanjak dari pos 3. Di pos ini pun santer terdengar mitos bahwasannya pos ini sangat angker maka dari itu dinamakan Pos Samarantu yang kalo kita coba uraikan terdiri dari 2 suku kata, Samar yang artinya tidak terlihat dan Hantu. Para pendaki biasanya menghindari untuk mendirikan tenda di pos yang berada di ketinggian 2635 mdpl. Tak jauh dari pos 4 sekitar 20  - 30 menit perjalanan kami menjumpai Pos 5 Samyang Rangkah (Pondok Mata Air). Di pos 5 ini kita bisa menjumpai mata air bersih berupa sungai yang tidak terlalu besar yang hanya ada saat musim hujan. Di pos yang memiliki ketinggian 2775 mdpl menjadi favorit pendaki untuk bermalam karena jaraknya menuju puncak tidak terlalu jauh. Terdapat bangunan shelter terbuat dari kayu dan lapisan seng pada atap dan dindingnya yang dapat dimanfaatkan oleh pendaki untuk berteduh kala hujan badai.
Kami putusan untuk bermalam di pos 5, dikarenakan dari pos 3 menuju pos 5 basah oleh derasnya air hujan dan fisik teman temen sudah mulai banyak terkuras. Kami sepakat mendirikan tenda di dalam shelter dikarenakan di luar sudah dipadati oleh tenda tenda pendaki yang sudah sampai sebelum kami datang.
Karena kami putusan untuk bermalam di pos 5, konsekuensinya adalah pagi buta esok hari kami harus udah memulai summit attack menuju puncak Gunung Slamet. Sedari jam 3 pagi kami sudah bangun dan mempersiapkan diri untuk segera melangkahkan kaki menuju puncak Gunung Slamet. Sekitar pukul 03.30 dini hari segala persiapan sudah selesai, kami hanya membawa satu tas keril yang diisi air beberapa botol dan tumbler air panas dan sedikit camilan ketika di perjalanan.
Kami menuju Pos 6 Samyang Katebonan yang ditempuh dengan waktu 30 – 45 menit dengan vegetasi yang mulai berkurang. Dari pos 6 ini kami terus berjalan menuju Pos 7 Samyang Kendit dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Di pos 7 ini kita ada sebuah bangunan yang biasa juga pendaki gunakan bermalam. Dari Pos 7 menuju Pos 8 (Samyang Jampang) membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan medan sudah berupa bebatuan dan masih didominasi hutan lamtoro. Dari Pos 8 menuju Plawangan kita akan melewati jalur yang lebih berat lagi. Di jalur ini kita keluar dari hutan dan menuju lahan terbuka. Plawangan merupakan pintu masuk menuju puncak Gunung Slamet. Dari tempat ini pendaki akan dapat menikmati panorama alam yang membentang luas di arah timur.
Kami melanjutkan perjalanan terus mendaki selepas Plawangan lintasan semakin menarik sekaligus menantang, jalur pendakian yang dilalui cukup terjal yang terdiri dari bebatuan dan kerikil yang labil. Selain pasir dan bebatuan sedimentasi lahar yang mudah longsor pada sepanjang lintasan. Di kanan kiri terdapat jurang dan tidak ada satu pohon pun yang dapat digunakan sebagai pegangan.
Kami semua sekuat tenaga menahan dinginnya pagi di Gunung Slamet untuk mencapai puncaknya. Untung saja kami cuaca pada pagi hari tidaklah ekstrim. Di daerah ini sering terjadi badai gunung, oleh karena itu kami putuskan mendaki pada pagi hari. Kami meninggalkan barang-barang kami di Pos 5. Perjalanan kami ke puncak membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Setelah sampai puncak kata pertama kami ucapkan Syukur Alhamdulillah kepada Allah Yang Besar, yang dengan Kuasa-Nya bisa melukiskan alam seindah ini. Dari puncak ini kami dapat memandang ke segala penjuru mata angin keindiahan dari puncak Gunung Slamet. Puncak Gunung Slamet kami juga bisa melihat hamparan luas kaldera nan menakjubkan yang biasa para pendaki menyebutnya dengan segoro wedi.
Tak lupa sebagaimana kebanyakan pendaki ketika sampai di puncak meraka berebut mengambil gambar diri dan berfoto bersama-sama. Kami tidak menyiayiakan waktu dipuncak yang sangat dingin dan segera kami ambil foto bersama. Meskipun kami nekat dan tapi dalam pendakian tetap mengutamakan faktor keamanan, bisa dibilang kami pendaki gembel! Pendaki bermodal nekat tapi tetap membawa kembali sampah bekas pendakian kami sampai ke basecamp.

Berikut Dokumentasi Perjalanan:





















No comments for "Cerita Perjalanan : Pendaki Gembel! Gunung Slamet"!

Leave a Reply