Pendaki
Gembel!!! Gunung Slamet.
Mendaki gunung
merupakan aktivitas diluar ruang (Outdoor Activitiy) yang akhir-akhir ini
sangat digandrungi anak muda. Tak ayal setelah rilis perdana Film 5 cm pada
tanggal 12 Desember 2012 memberikan efek luar biasa bagi mereka yang sebelumnya
belum pernah merasakan sensasi mendaki gunung. Sebelumnya aktivitas mendaki
gunung hanya dimonopoli mereka yang tergabung dalam UKM (Unit Kegiatan
Mahasiswa) Pecinta Alam.
Berawal dari obrolan
ringan seorang teman kontrakan bernama Fandy mengenai keseruan cerita
perjalanannya ke Gunung Lawu dan Gunung Semeru yang hanya selisih 1 bulan.
Seketika terlintas dipikiranku untuk mendaki ke Gunung Slamet yang merupakan
salah satu Gunung Berapi tertinggi di Jawa Tengah dengan ketinggian 3428 mdpl
serta tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru di Jawa Timur dengan
ketinggian 3676 mdpl. Gunung yang cukup terkenal dikalangan pendaki meskipun
medannya dikenal sulit.
Waktu itu Hari Jumat, 6
Desember 2013. Selepas Sholat Jumat di salah satu masjid disekitar kontrakan,
kami berinisiatif menghubungi teman
kampus yang bernama Kun untuk mengajak bergabung dalam pendakian ke Gunung
Slamet. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya mendapatkan sms bahwa dia
bersedia bergabung dengan pendakian kami. Kami sepekat selepas Sholat Ashar
berkumpul di depan Indomaret Ngesrep. Segera saya dan Fandy berkemas untuk
menghampiri Kun. Ternyata Kun sudah stand by di depan Indomaret Ngesrep, tanpa
banyak bicara Kun mengajak kami menuju salah satu rumah yang dijadikan
kontrakan temannya. Disana sudah menunggu beberapa teman yang ternyata juga
akan ikut bergabung bersama kami mendaki Gunung Slamet ada beberapa teman satu
jurusan dan satu orang dari kampus lain. Terhitung ada tambahan enam personil.
Jadi total rombongan pendakian berjumlah depalan orang yang terdiri dari: Fandy,
Kun, Ucup, Okem, Muhtadi, Ilham, Seto, dan saya sendiri.
Ini adalah pendakian
pertama saya ke Gunung Slamet, sebelumnya saya sudah beberapa kali mendaki
beberapa gunung di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Gunung Slamet terletak diantara
5 Kabupaten, yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga,
Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang. Gunung ini memiliki 5 jalur pendakian
antara lain: Jalur Bambangan (Purbalingga), Jalur Baturraden (Purwokerto),
Jalur Guci (Tegal), Jalur Kaliwadas (Brebes), Jalur Kaligua (Bumi Ayu), dan
Jalur Dukuhliwung (Tegal). Penduduk yang bermukim disekitar lereng Gunung
Slamet menganggap gunung tersebut gunung angker, bahkan menurut cerita yang
banyak saya baca dari blog sebagian pendaki pernah mengalami kejadian-kejadian
aneh ketika di Gunung Slamet.
Waktu sudah menunjukan
pukul 17.00 WIB. Sembari menunggu beberapa teman untuk menyiapkan peralatan dan
logistik yang akan dibawa. Saya bersama Kun mendiskusikan perjalanan kami.
“Lebih baik lewat jalur
pendakian mana Kun?”, tanya saya yang belum pernah ke Gunung Slamet. “Wah.. aku
juga belum pernah kesana ik!”, Sahut
Kun dengan logat Semarangannya.
Akhirnya Kun memanggil temannya
yang bernama Seto. Dia adalah Mahasiswa Mesin di Politeknik Negeri Semarang.
Yang kebetulan pernah melakukan pendakian Ke Gunung Slamet. Setelah
mendengarkan cerita Seto, akhirnya kami sepakat untuk mendaki melewati Jalur
Bambangan di Kabupaten Purbalingga. Memang didalam sebuah tim, terlebih tim
pendakian yang melibatkan banyak personel, diskusi dan komunikasi merupakan hal
yang selalu di tekankan sesama pendaki agar dalam perjalanan nantinya tidak ada
yang hal yang tidak diinginkan terjadi.
“Ayo kita berangkat!”, celetuk
Okem. Mesin-mesin motor mulai dinyalakan. Tak berlangsung lama deru-deru mesin
mulai bersahut-sahutan. Kami saling berboncengan, karena jumlah kami ada 8
orang sehingga kami menggunakan 4 unit sepeda motor, dan kebanyakan adalah motor
bebek. Terbayang betapa capeknya perjalanan dari Tembalang menuju ke Bambangan
daerah di Purbalingga Jawa Tengah melewati Jalan Pantura (Pantai Utara) Jawa.
Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami berhenti disalah satu Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di daerah Kendal, untuk mengisi penuh tangki
sepeda motor kami dan menunaikan Sholat Magrib.
Perjalanan kami
lanjutkan dan kami berhenti kembali di daerah Batang, Jawa Tengah, karena teman
kami yang bernama Seto berasal dari Batang. Sehingga kami menyempatkan mampir
ke rumahnya dan kemudian kami diajak oleh Seto menuju ke daerah sekitar Stasiun
Batang untuk menikmati kuliner Nasi Megono, yaitu makanan yang sangat familiar
yang mudah ditemukan di warung - warung sepanjang Pantura mulai daerah Batang,
Pekalongan hingga Pemalang. Nasi Megono merupakan kuliner khas terdiri dari
Nasi, dan cacahan nangka muda yang dicampur dengan parutan kelapa berserta
bumbu-bumbu lainnya. Jujur ini merupakan pengalaman pertama kalinya menikmati
kuliner Pantura ini. Pertama merasa aneh dengan cacahan nangka muda akan tetapi
setelah dirasakan apalagi dengan telur ayam bacem dan tempe mendoan hangat.
Dalam keadaan perut yang kosong karena perjalanan dari Tembalang menuju Batang
yang hampir memakan waktu 3 jam, merasakan sajian kuliner ini sungguh nikmat
sekali, iya nikmat karena si tuan rumah mentraktir kami. Hehehe.
Setelah dirasa cukup
untuk memulihkan tenaga kami, istirahat pun kami akhiri, dan bersiap untuk
melanjutkan perjalanan panjang kami. Jam di hapeku menunjukan pukul 21.00 WIB,
didalam benak aku membayangan akan begitu panjang dan melelahkan perjalanan
ini. Tapi dengan semangat, kami rasa bisa menaklukan semua ini. Selama di
perjalanan Fandy yang bertindak sebagai driver
dan saya sebagai co-driver yang
memanggul tas keril di pundak, sungguh melelahkan dengan perjalanan panjang dan mengenakan tas keril
yang sebelum berangkat sudah saya timbang dengan berat 20 Kg. Itu sudah
termasuk berat bagi saya yang bertubuh kecil dan kurus. Disela-sela berkendara
saya selalu mengajak Fandy untuk mengobrol, tujuannya adalah agar Fandy tidak
mengantuk ketika mengendari motor. Obrolan kami hanya sekedar obrolan remeh
temeh seputar gebetan yang sedang diincarnya sampai obrolan yang lebih serius
terkait masa depan masing-masing.
Perjalanan terus kami
nikmati, dan sesekali kantuk menyerang. Tak ayal perjalanan malam hari dengan
kondisi udara dingin dan sedikit lelah berulang kali membuat helm saya terantuk
pada helm Fandy, dan dia mengingatkan untuk berpegangan. Tak terasa kami telah
melewati Pekalongan menuju ke Pemalang. Ditengah perjalanan kami berhenti di
SPBU untuk sekedar buang air kecil dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Di setiap berhenti kami saling bertukar tempat duduk. Sekarang gantian saya
yang menjadi driver. Tas keril yang
sebelumnya berada di pundak saya kemudian saya pindahkan di depan saya sehingga
pundak saya sudah tidak merasakan beban lagi. Lega sekali rasanya.hehe
Jalan demi jalan kami
lewati tanpa tau nama jalan tersebut. Saya hanya mengikuti teman yang berada di
depan saya. Saya mencuri pandang kekanan dan kekiri ketika jalan mulai sepi
berharap menemukan nama jalan dan tempat dimana kami berada. Ternyata kami
sudah berada di daerah Pemalang, dimana tepatnya saya tidak mengetahuinya. Kami
pacu kendaraan kami secepat mungkin menuju ke selatan. Semakin ke selatan
daerah yang kami lewati semakin sepi tanpa penerangan dan dikanan-kiri kami
berupa hutan dengan pepohonan tinggi menjulang. Tak terasa waktu menunjukan
pukul 00.30 WIB tepat kami berhenti di SPBU yang agak terpencil untuk mengisi
bahan bakar yang telah menipis. Disela-sela petugas mengisi tangki bahan bakar
motor teman, saya yang berada diantrian di belakangnya menguping pembicaraan
mereka yang intinya pejalanan kami menuju Bambangan akan sedikit lebih lama
dikarenakan jalanan yang berlubang dan banyak genangan air. Sebelum kami sampai
di SPBU hujan memang sudah selesai mengguyur daerah tersebut.
Setelah beristirahat
kurang lebih 15 menit, kami melanjutkan perjalanan dengan agak berhati-hati.
Laju motor kami tidak sekencang ketika kami di Pantura. Kami sangan
berhati-hati dalam memilih jalan yang mulus. Salah memilih jalan bisa berakibat
fatal, kempes ban di tengah hutan tanpa penerangan dan jauh dari pemukiman
warga. Masuk dari perkampungan satu ke perkampungan lain. Medannya sudah tak
lagi datar, sesekali motor kami pacu kencang demi menaklukan tanjakan itu. Setelah
lama berjalan akhirnya kami mulai menemukan peradaban. Kami menjumpai sebuah
pasar di pinggiran kota yang mulai ramai aktivitas para penjual untuk
menyiapkan dagangannya. Kami putusan untuk mencari tempat beristirahat dan
sambil mencari tau daerah mana yang kami singgahi ini. Di pinggiran kota
tersebut kami tidak menjumpai toko yang buka, maklum saja saat itu jam
menunjukan pukul 02.00 dini hari. Beruntung kami menemukan Indomaret 24 jam
yang masih buka. Akhirnya kami putuskan untuk sekedar membeli minuman dan snack
sembari meluruskan tulang punggung kami yang sudah mulai kaku.
Dikasir Indomaret saya
bertanya, “Permisi mas, ini daerah mana ya?”. “Ini daerah Purwokerto mas!
Memang mas dari mana?” tanya si kasir tersebut. “Kami dari Semarang mau ke Gunung
Slamet mas” sahut ku.
Saya menyadari
sebenarnya telah tersesat setelah kasir Indomaret tersebut menyebutkan kami
berada di Purwokerto, padahal tujuan kami adalah Bambangan di Kabupaten
Purbalingga. Kami disarankan untuk kembali di jalan yang sebelumnya kami lewati
dan mengurangi kecepatan ketika sampai pada pertigaan, dimana dipertigaan
tersebut ramai oleh warung. Sepertinya daerah sekitaran pertigaan itu
digunakaan untuk persinggahan angkutan umum sebelum melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya di pertigaan yang disebutkan kasir Indomaret tersebut kami berhenti
disalah satu warung dan bertanya arah menuju ke Bambangan. Akhirnya kami
diberitahu tempat yang kami tuju. “Matur suwun, pak!”, ucap salah satu teman
saya. Tanpa pikir panjang kami segera melanjutkan perjalanan menuju daerah
Bambangan.
Waktu terus berjalan,
dingin angin gunung tak terelakan menembus jaket-jaket kami hingga ke tulang.
Karena kami sudah masuk daerah lereng Gunung Slamet wajar saja kami disambut
oleh keadaan semacam ini. Selama perjalanan menuju basecamp Bambangan kami melewati beberapa perkampungan dan kebun sayur
milik warga. Dengan adanya beberapa penunjukan jalan yang di pasang di pinggir
jalan, akhirnya kami menemukan basecamp pendakian via bambangan. Segera kami
parkir di depan rumah warga yang masih terjaga untuk menitipkan motor kami.
Selepas menitipkan motor kami segera masuk ke dalam rumah yang di jadikan
basecamp pendakian. Tak disangka dari luar basecamp tersebut terlihat sepi, dan
ketika masuk kedalam rumah, beberapa orang sudah tergeletak di lantai rumah
berselimutkan sleeping bag. Alhasil kami harus mencari celah untuk bisa
beristirahat agar keesokan paginya tidak terlalu capek dalam pendakian.
Waktu sudah semakin
pagi. Tak terasa jam tanganku menujukan pukul 03.00. Aku harus segera tidur,
tetapi dingin ini memaksaku untuk terus terjaga. Baju tebal, jaket, kaos kaki
serta sleeping bag sudah aku gunakan tapi masih saja dingin menerobos melewati
celah celah sleeping bag hingga akhirnya aku tertidur dalam buaian mimpi. Ash-shalaatu
khairum minan-nauum.. 2 kali aku mendengarkannya tapi badanku tidak segera
bangun. Aku rasa karena rasa lelah perjalanan masih tersisa atau bisikan setan
untuk terus melanjutkan tidur lebih kuat daripada memenuhi panggilan-Nya?
Arrgh.. pikiran ini sadar akan tetapi raga ini seolah menolak untuk bangun.
Kupaksakan badan ini untuk sekedar bersandar di dinding. Setelah beberapa saat
tenaga terkumpul, ku singkap sleeping bag dan ku langkahkan kaki menuju kamar
mandi untuk buang air kecil lantas berwudhu. Di mushola kecil di sudut rumah
itu aku menghadap Tuhan-Ku.
Mentari mulai
menghangat. Masyarakat desa sudah sejak subuh pergi ke kebun untuk merawat dan
memanen jerih payah mereka, sedangkan kami? Ahh.. kulihat teman teman masih
asyik dengan mimpi mereka masing-masing, dan aku lihat beberapa pendaki laain tengah
bersiap mengemasi barang dan selanjutnya melakukan registrasi sebelum melakukan
pendakian.
Aku coba bangunkan
salah satu teman. “Kun, ayo bangun udah pagi nih!”. “Ah.. bentar.. 5 menit
lagi”. Jawabnya sambil membelakangiku.
Ujungnya pun sudah bisa di tebak, kami
kesiangan pemirsah. Pukul 08.30 kami bangun terlewat target kami untuk bangun
jam 07.00. Secara bergantian kami menuju kamar mandi, tapi diantara kami
berdelapan tidak ada yang mandi, hanya berani untuk cuci muka dan gosok gigi.
Luar biasa dingin. Brrr.. 30 menit kami habiskan bergantian untuk menggunakan
kami mandi, sedang yang lain mempersiapkan keril masing-masing. Tepat pukul
09.00 kami mendaftakan kelompok pendakian kami di basecamp.
Dari basecamp yang
berada di ketinggian 1502 mdpl, perjalanan kami mulai dengan berjalan menyusuri
jalan aspal hingga gerbang pendakian. Setelah lepas dari jalan aspal kami
disuguhi pemandangan perkebunan penduduk sekitar. Kami meneruskan perjalanan
melewati jalan setapak hingga menjumpai simpang tiga dan itu pertanda bahwa
kami harus berbelok kekiri. Untuk mencapai Pos 1 Pondok Gemirung (Gardu
Pandang) sebelumnya kita akan melewati lahan kosong yang nampak seperti
lapangan yang cukup luas. Setelah melewati lapangan kami disuguhi jalan yang
menanjak untuk sampai pos 1. Perjalanan 2 jam yang cukup memberikan kejutan di
awal pendakian. Tak terasa sampailah kami di pos 1 dan segera kami cepat
meletakan keril kami dan menjangkau minum di dalam masing masing tas kami.
Ada diantara meraka
hanya mendaki sampai Pos 1, dikarenakan peralatan pendakian mereka terbatas.
Setelah dari Pos 1 Pondok Gemirung (Gardu Pandang) kami melanjutkan pendakian
kembali menuju ke pos 2 (Walang). Sekedar informasi Pos 1 Pondok Gemirung atau
Pos Gardu Pandang memang banyak diminati oleh mereka yang hanya ingin berlibur
pemandangan. Berada diketinggian 1935 mdpl. Pos ini berupa shelter dengan atap
berupa seng yang luas dan cocok untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan
pendakian ke Pos 2.
Medan yang dilalui menuju Pos 2 sudah
mulai memasuki kawan hutan yang rapat. Jalur akan terus menanjak dan sedikit
ditemui bonus (jalur datar). Pos 2 (Walang) berada diketinggian 2220 mdpl dan
dapat di lalui 1.5 jam dari Pos 1 Gemirung (Gardu Pandang). Berupa tanah datar
yang cukup luas untuk beristirahat dari lelahnya selepas tanjakan di pos 1.
Selepas dari pos 2
perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 3 (Cemara). Jalan yang kami lalui masih di
dominasi tanjakan. Dari pos 2 kami berjalan menuju Pos 3 Pondok Cemara memakan
waktu sekitar 2 jam yang masih didominasi hutan lebat dan semak-semak.
Pos 3 Cemara ini berada
di ketinggian 2465 mdpl. Berupa tanah datar yang lebih kecil daripada pos 2.
Perjalanan kami lanjutkan menuju pos berikutnya yaitu Pos 4 Samarantu. Di pos 4
ini bisa dilalui 1 – 1.5 jam perjalanan menanjak dari pos 3. Di pos ini pun
santer terdengar mitos bahwasannya pos ini sangat angker maka dari itu
dinamakan Pos Samarantu yang kalo kita coba uraikan terdiri dari 2 suku kata,
Samar yang artinya tidak terlihat dan Hantu. Para pendaki biasanya menghindari
untuk mendirikan tenda di pos yang berada di ketinggian 2635 mdpl. Tak jauh
dari pos 4 sekitar 20 - 30 menit
perjalanan kami menjumpai Pos 5 Samyang Rangkah (Pondok Mata Air). Di pos 5 ini
kita bisa menjumpai mata air bersih berupa sungai yang tidak terlalu besar yang
hanya ada saat musim hujan. Di pos yang memiliki ketinggian 2775 mdpl menjadi
favorit pendaki untuk bermalam karena jaraknya menuju puncak tidak terlalu
jauh. Terdapat bangunan shelter terbuat dari kayu dan lapisan seng pada atap
dan dindingnya yang dapat dimanfaatkan oleh pendaki untuk berteduh kala hujan
badai.
Kami putusan untuk
bermalam di pos 5, dikarenakan dari pos 3 menuju pos 5 basah oleh derasnya air
hujan dan fisik teman temen sudah mulai banyak terkuras. Kami sepakat
mendirikan tenda di dalam shelter dikarenakan di luar sudah dipadati oleh tenda
tenda pendaki yang sudah sampai sebelum kami datang.
Karena kami putusan untuk bermalam di pos 5, konsekuensinya adalah pagi
buta esok hari kami harus udah memulai summit attack menuju puncak Gunung
Slamet. Sedari jam 3 pagi kami sudah bangun dan mempersiapkan diri untuk segera
melangkahkan kaki menuju puncak Gunung Slamet. Sekitar pukul 03.30 dini hari
segala persiapan sudah selesai, kami hanya membawa satu tas keril yang diisi
air beberapa botol dan tumbler air panas dan sedikit camilan ketika di
perjalanan.
Kami menuju Pos 6 Samyang
Katebonan yang ditempuh dengan waktu 30 – 45 menit dengan vegetasi yang mulai
berkurang. Dari pos 6 ini kami terus berjalan menuju Pos 7 Samyang Kendit
dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Di pos 7 ini kita ada sebuah bangunan
yang biasa juga pendaki gunakan bermalam. Dari Pos 7 menuju Pos 8 (Samyang
Jampang) membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan medan sudah berupa bebatuan
dan masih didominasi hutan lamtoro. Dari Pos 8 menuju Plawangan kita akan
melewati jalur yang lebih berat lagi. Di jalur ini kita keluar dari hutan dan
menuju lahan terbuka. Plawangan merupakan pintu masuk menuju puncak Gunung
Slamet. Dari tempat ini pendaki akan dapat menikmati panorama alam yang
membentang luas di arah timur.
Kami melanjutkan perjalanan terus
mendaki selepas Plawangan lintasan semakin menarik sekaligus menantang, jalur
pendakian yang dilalui cukup terjal yang terdiri dari bebatuan dan kerikil yang
labil. Selain pasir dan bebatuan sedimentasi lahar yang mudah longsor pada
sepanjang lintasan. Di kanan kiri terdapat jurang dan tidak ada satu pohon pun
yang dapat digunakan sebagai pegangan.
Kami semua sekuat
tenaga menahan dinginnya pagi di Gunung Slamet untuk mencapai puncaknya. Untung
saja kami cuaca pada pagi hari tidaklah ekstrim. Di daerah ini sering terjadi
badai gunung, oleh karena itu kami putuskan mendaki pada pagi hari. Kami
meninggalkan barang-barang kami di Pos 5. Perjalanan kami ke puncak membutuhkan
waktu sekitar 1 jam. Setelah sampai puncak kata pertama kami ucapkan Syukur
Alhamdulillah kepada Allah Yang Besar, yang dengan Kuasa-Nya bisa melukiskan
alam seindah ini. Dari puncak ini kami dapat memandang ke segala penjuru mata
angin keindiahan dari puncak Gunung Slamet. Puncak Gunung Slamet kami juga bisa
melihat hamparan luas kaldera nan menakjubkan yang biasa para pendaki
menyebutnya dengan segoro wedi.
Tak lupa sebagaimana
kebanyakan pendaki ketika sampai di puncak meraka berebut mengambil gambar diri
dan berfoto bersama-sama. Kami tidak menyiayiakan waktu dipuncak yang sangat
dingin dan segera kami ambil foto bersama. Meskipun kami nekat dan tapi dalam
pendakian tetap mengutamakan faktor keamanan, bisa dibilang kami pendaki
gembel! Pendaki bermodal nekat tapi tetap membawa kembali sampah bekas
pendakian kami sampai ke basecamp.
Berikut Dokumentasi Perjalanan:
No comments for "Cerita Perjalanan : Pendaki Gembel! Gunung Slamet"!
Leave a Reply